Selasa, 13 Oktober 2009

SYARIAT ISLAM BUKAN NEGARA ISLAM


Dewasa ini begitu banyak wacana tentang pemerintahan islam, syariat islam, negara islam dan appun istilahnya yang jelas orang-orang ini mengininkan tegaknya sebuah negara islam di bawah panji hukum-hukum islam. Mengenai bentuk-bentuk pemerintahannya pun berbeda-beda ada yang menginginkan sebuah kesatuan pemerintahan masyarakat islam sedunia dalam sistem kekhilafaan (seperti yang sedang diperjuangkan oleh teman-teman Hizbut Tahrir) dan ada juga yang menginginkan sebuah pemerintahan islam dalam suatu wilayah negara (seperti DI/TII Kartosuwiryo maupun NII di bawah kepemimpinan Abu Toto yang berpusat di al-Zaytun indramayu).

Selain itu wacana yang berkembang juga terdapat pada pihak-pihak yang kontra terhadap apapun bentuk pemerintahan atau syariat yang berlandaskan islam. Bagi mereka islam dilihat dari segi subtansi bukan formalitas belaka. Mereka berpandangan bahwa syariat islam ada pada ranah ritualitas induvidu (orang bebas melakukan sholat atau tidak tanpa paksaan) karena hubungan tersebut bersifat transendental (Tesis ini menurut saya tidak sepenuhnya benar karena hubungan interaksi dalam islam menyangkut hubungan ultra-rasional dan hubungan sosiologis yang memerlukan suatu sistem hukum negara yang mengaturnya, contoh: Hukum Perkawinan, Hukum Waris dsb.

Dalam pembahasan ini agar uraiannya tidak melebar kemana-mana saya akan menekankan pada judul yang saya berikan pada essay ini yaitu mengapa SYARIAT ISLAM BUKAN NEGARA ISLAM. Adapun pandangan yang saya berikan adalah berdasarkan pengetahuan dan keyakinan saya, pengetahuan yang saya dapatkan dari berbagai referensi yang saya baca dan keyakinan saya bahwa sayariat islam adalah wajib diterapkan bagi setiap orang yang merasa dirinya sebagai muslim, jika tidak maka kita akan menanggung sebuah dosa (lihat QS.5: 44-47, QS.39: 55, QS.4: 58-70).

Namun apakah syariat islam itu harus disertai oleh adanya suatu pemerintahan atau negara islam disini terjadi perdebatan di antara para ahli. Meskipun secara empiris pemerintahan islam itu pernah ada dari sejak negara madinah di bawah kepemimpinan nabi Muhammad SAW, dilanjutkan oleh khulafah rasyidin, berpindah ke dinasti umayyah dan dinasti abassiyah, kemudian terpecah kedalam tiga kerajaan besar yaitu turki usmani di mesir, mughal di india dan safawi di persia, dan kerajaan-kerajaan kecil yang banyak jumlahnya, tetapi bentuk pemerintahan itu tidak sama antara satu sama lainnya. Prof. Amien Rais dan KH. Abdurrahman Wahid (Gusdur) sepakat bahwa bentuk pemerintahan islam tidak secara qoth'i tersurat di dalam al-Qur'an maupun hadits, namun Gusdur berbeda pandangan mengenai syariat islam, baginyaprinsip keadilan, persamaan, kebebasan yang terdapat dalam hukum barat adalah sama substansinya dalam hukum islam.

Saya sependapat dengan pendapat kedua tokoh di atas mengenai tidak adanya nash yang jelas yang menerangkan tentang perlunya membentuk sebuah negara islam, namun saya di sepakat dengan gusdur mengenai prinsip-prinsip hukum barat karena bagaimana pun juga hukum tersebut dikodifikasi dari pemikiran-pemikiran manusia yang memiliki banyak kelemahan. Saya meyakini bahwa diperlukan adanya supermasi hukum islam bagi para pemeluknya karena hal ini merupakan hak asasi (human right) setiap manusia untuk menerapkan nilai-nilainya (moral philosophy) di dalam kehidupan. apakah syariat islam akan tegak di atas pondasi negara islam. Wallahu a'lam bimuradhi.

Daftar Bacaan

-Prinsip-prinsip Piagam Madinah, J Suyuthi Pulungan

-Perbandingan Pemikiran Politik Amien Rais dan Abdurrahman Wahid

-Sejarah Perdaban Islam: Dirasah Islamiyah II

-Negara, Islam, dan Demokrasi, Pokok-pokok Pemikiran Abdurrahman Wahid

-Al-Qur'an dan Terjemahannya, Kementrian Agama RI dan Kerajaan Arab Saudi


Oleh: Kusnanto Nugroho

Ilmu pemerintahan

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu politik, Univeritas Padjadjaran

tentangpemerintahan.blogspot.com


SYARIAT ISLAM BUKAN NEGARA ISLAM


Dewasa ini begitu banyak wacana tentang pemerintahan islam, syariat islam, negara islam dan appun istilahnya yang jelas orang-orang ini mengininkan tegaknya sebuah negara islam di bawah panji hukum-hukum islam. Mengenai bentuk-bentuk pemerintahannya pun berbeda-beda ada yang menginginkan sebuah kesatuan pemerintahan masyarakat islam sedunia dalam sistem kekhilafaan (seperti yang sedang diperjuangkan oleh teman-teman Hizbut Tahrir) dan ada juga yang menginginkan sebuah pemerintahan islam dalam suatu wilayah negara (seperti DI/TII Kartosuwiryo maupun NII di bawah kepemimpinan Abu Toto yang berpusat di al-Zaytun indramayu).

Selain itu wacana yang berkembang juga terdapat pada pihak-pihak yang kontra terhadap apapun bentuk pemerintahan atau syariat yang berlandaskan islam. Bagi mereka islam dilihat dari segi subtansi bukan formalitas belaka. Mereka berpandangan bahwa syariat islam ada pada ranah ritualitas induvidu (orang bebas melakukan sholat atau tidak tanpa paksaan) karena hubungan tersebut bersifat transendental (Tesis ini menurut saya tidak sepenuhnya benar karena hubungan interaksi dalam islam menyangkut hubungan ultra-rasional dan hubungan sosiologis yang memerlukan suatu sistem hukum negara yang mengaturnya, contoh: Hukum Perkawinan, Hukum Waris dsb.

Dalam pembahasan ini agar uraiannya tidak melebar kemana-mana saya akan menekankan pada judul yang saya berikan pada essay ini yaitu mengapa SYARIAT ISLAM BUKAN NEGARA ISLAM. Adapun pandangan yang saya berikan adalah berdasarkan pengetahuan dan keyakinan saya, pengetahuan yang saya dapatkan dari berbagai referensi yang saya baca dan keyakinan saya bahwa sayariat islam adalah wajib diterapkan bagi setiap orang yang merasa dirinya sebagai muslim, jika tidak maka kita akan menanggung sebuah dosa (lihat QS.5: 44-47, QS.39: 55, QS.4: 58-70).

Namun apakah syariat islam itu harus disertai oleh adanya suatu pemerintahan atau negara islam disini terjadi perdebatan di antara para ahli. Meskipun secara empiris pemerintahan islam itu pernah ada dari sejak negara madinah di bawah kepemimpinan nabi Muhammad SAW, dilanjutkan oleh khulafah rasyidin, berpindah ke dinasti umayyah dan dinati abassiyah, kemudian terpecah kedalam tiga kerajaan besar yaitu turki usmani di mesir, mughal di india dan safawi di persia, dan kerajaan-kerajaan kecil yang banyak jumlahnya, tetapi bentuk pemerintahan itu tidak sama antara satu sama lainnya. Prof. Amien Rais dan KH. Abdurrahman Wahid (Gusdur) sepakat bahwa bentuk pemerintahan islam tidak secara qoth'i tersurat di dalam al-Qur'an maupun hadits, namun Gusdur berbeda pandangan mengenai syariat islam, baginyaprinsip keadilan, persamaan, kebebasan yang terdapat dalam hukum barat adalah sama substansinya dalam hukum islam.

Saya sependapat dengan pendapat kedua tokoh di atas mengenai tidak adanya nash yang jelas yang menerangkan tentang perlunya membentuk sebuah negara islam, namun saya di sepakat dengan gusdur mengenai prinsip-prinsip hukum barat karena bagaimana pun juga hukum tersebut dikodifikasi dari pemikiran-pemikiran manusia yang memiliki banyak kelemahan. Saya meyakini bahwa diperlukan adanya supermasi hukum islam bagi para pemeluknya karena hal ini merupakan hak asasi (human right) setiap manusia untuk menerapkan nilai-nilainya (moral philosophy) di dalam kehidupan. apakah syariat islam akan tegak di atas pondasi negara islam. Wallahu a'lam bimuradhi.

Daftar Bacaan

-Prinsip-prinsip Piagam Madinah, J Suyuthi Pulungan

-Perbandingan Pemikiran Politik Amien Rais dan Abdurrahman Wahid

-Sejarah Perdaban Islam: Dirasah Islamiyah II

-Negara, Islam, dan Demokrasi, Pokok-pokok Pemikiran Abdurrahman Wahid

-Al-Qur'an dan Terjemahannya, Kementrian Agama RI dan Kerajaan Arab Saudi


Oleh: Kusnanto Nugroho

Ilmu pemerintahan

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu politik, Univeritas Padjadjaran

tentangpemerintahan.blogspot.com